-- sebuah ‘awakening mind dari film “LASKAR PELANGI” --
Dulu waktu kecil aku ingat guruku di kelas akan bertanya tentang cita-cita kami murid-muridnya, dan aku tanpa pikir panjang menjawab jadi arsitek, kemudian sebulan kemudian berganti cita-cita jadi desainer, trus bulan depannya ganti lagi... Hehe.. plinplan amat yak. Trus teman-temanku biasanya ingin jadi dokter, insinyur, pilot, astronot, etc. Familiar job lah.. Aku juga ingat bagaimana guruku akan memotivasi kami supaya besok kalo udah gede jadi orang sukses. Amin!
Tapi cita-cita jadi ‘guru’ kok sepertinya gak pernah terucap ya? At least menginjak SMP, SMA, saat seorang anak mulai melihat kesederhana’an guru-gurunya dan lalu potret seorang guru itu pun jauh dari citra ‘sukses’. Aku bahkan masih ingat ada salah satu guruku yg melarang kami utk jadi guru. Wew.. kok gitu amat yak? But that’s the fact that sometimes.. even our teachers are regret that he or she is a teacher! Is that a common phenomenon that we are taught by teachers that desperate to teach us?
Kenapa ngomongin guru sih?
Kemaren aku baru aja nonton Laskar Pelangi. Hehe.. rada basi ya secara tu film uda lama banget di bioskop Jakarta. Ceritanya familiar karena diangkat dr novel terkenal dengan judul yg sama by Andrea Hirata. Kalo tentang tetralogi bukunya, denger2 sih overal tentang semi biografi pengarangnya, nyeritain dr kecil dia di Belitong sana, sampe gede, sukses n dapet beasiswa ke Paris.
Kalo film Laskar Pelangi ini, temanya pendidikan anak desa dimana salah satunya si Andrea Hirata kecil. Film bertema serupa sebelumnya pernah diangkat tapi dari bagian Papua. Pernah denger Denias-Senandung di Atas Awan* kan?
Film Laskar Pelangi ini bagus menurutku. Well.. ini pendapat seorang manusia Indonesia yang belum baca bukunya (dan habis ini kayaknya perlu banget nih baca..). Kasting pemainnya lumayan oke dan aku menimati keseluruhan akting anak2 kecil itu. Keren! Aku bilang keren karena film ini ‘kena’ banget buat bikin terenyuh tentang nasib anak2 miskin Indonesia yang gak bisa menikmati pendidikan dengan layak. Coba deh film ginian lebih banyak lagi di Indonesia, at least bangsa ini bisa lebih banyak mikir tentang nasib anak-anak di dalam negeri, gak melulu nonton film-film action luar negeri. Film indonesia meskipun kata orang-orang kualitasnya ga bisa sehebat film amerika, but film-film semacam Laskar Pelangi inilah yang bisa lebih mudah menginspirasi dan menyadarkan kita daripada film luar karena kenyataan2 yg ditampilkan itu ada di sekitar kita. Ketidakberdayaan bangsa ini dekat dan kita saksikan setiap hari, tapi tanpa membuat kita 'merasa ada yang salah'.
Kenyataan yang terjadi sekarang, film-film Indonesia malah pada ngangkat tema horor dan alasan produsernya bahwa itu film yang bisa menyedot banyak penonton. Aduuuh..itu tontonan mendidik apa engga coba???
Eits.. Tulisan ini bukan mo bikin resensi film Laskar Pelangi. Kemarin waktu abis nonton film itu tiba2 berasa banyak uneg2 berkeliweran. I call this ‘awakening mind’. Beberapa point yang jadi pembelajaran buatku bahwa setiap manusia bertanggungjawab atas hidupnya masing-masing. Mereka yang pemalas jangan harap jadi orang sukses (kecuali faktor ‘x’, alias beruntung kali yee). Ada salah satu tokoh di film itu namanya “Lintang”. Diceritakan ni anak nelayan jenius bener, menghitungnya cepet, hapalannya kuat, rajin belajar n pengetahuannya luas. Dia pun akhirnya harus bertanggungjawab akan kehidupannya, keluar dari sekolah (SD Muhammadiyah) karena mendadak ia dan adik2nya jadi yatim piatu dan dia yg masih kelas 5 SD harus kerja ngehidupin keluarganya. Miris rasanya liat fenomena itu.. potensi seorang anak yang tersia-sia, akhirnya terpaksa putus sekolah dan cuma jadi nelayan.
Ikal (as known as Andrea Hirata kecil) adalah contoh yang beruntung. Aku gak tau cerita detailnya karena belum baca bukunya yg lengkap, tapi pada akhirnya Ikal dapet beasiswa melanjutkan sekolahnya ke Perancis, alhamdulillah.. Trus bagaimana dengan Lintang? Ironis sekali aku melihat penggambaran tokoh Lintang yang harus berusaha lebih keras dari teman2nya utk mencapai sekolah karena rumahnya paling jauh (di pinggir pantai) dan harus nunggu buaya pergi dulu dari jalan yang dilaluinya ke sekolah. Mataku berkaca-kaca tiap kali menyaksikan Lintang yang sepulang sekolah mengurusi ke3 adik-adiknya yang masih kecil (ibunya sudah tiada) sambil menunggu bapaknya pulang melaut, tapi tetap rajin belajar dan banyak baca koran untuk memperluas wawasannya. Wow!
Aku hanya mengandai-andai jika Lintang kecil itu akhirnya dapat beasiswa sekolah hingga tinggi dan adik-adiknya itu ada yang menanggung, mungkin dia bisa jadi the next BJ. Habibie, mengharumkan nama bangsa atau memajukan teknologi negeri ini dan membuka lapangan pekerjaan baru. Who knows??
Tapi bagaimanapun Lintang adalah contoh anak jenius yang sadar pentingnya pendidikan. Ini didapatnya dari Ayahnya yang entah dapat kesadaran dari mana, menanamkan motivasi belajar dan jadi orang sukses pada Lintang kecil. Tapi coba dihitung berapa banyak orang tua miskin macam ayah Lintang yang ingin anaknya sekolah jauh-jauh seperti ini? Seberapa tinggi kah kesadaran akan pendidikan bagi orang-orang desa yang miskin akses informasi? Kenyataannya, anak-anak miskin ini bahkan tak ingin sekolah dan akhirnya disuruh bekerja membantu ayah ibunya.
Anak-anak ini, baik yang secara intelektual pintar ataupun biasa-biasa, belum tau apa itu sukses. Mereka mana tau bahwa belajar itu pangkal pandai atau sukses. Lingkungan lah yang akhirnya membentuk semangat mereka untuk maju dan mencapai cita-citanya. Orang tua adalah yang utama membentuk kedisplinan mereka di rumah. Peranan guru juga gak kalah penting dalam membentuk motivasi anak-anak. Pintar saja tidak cukup! Mereka harus punya emotional quotience (EQ) untuk tetap rajin belajar dan gak berputus asa meraih keberhasilan hingga dewasa. Dan nasib anak-anak miskin ini, siapa yang akan menanamkan motivasi belajarnya? Siapa yang akan terus menyekolahkan mereka?
Kalau memang benar Laskar Pelangi itu kisah nyata.. Maka indah sekali kebahagiaan 10 anak-anak itu bisa sekolah SD, dapat guru cantik yang baik, menang lomba cerdas cermat.. Subhanallah..Sungguh menyenangkan kenangan Lintang akan piagam kemenangan lomba yang dipajangnya di rumah.. Atau piala lomba karnaval yang menghiasi lemari sekolah.. Aku juga terharu saat Pakcik (a.k.a kepala sekolah SD tersebut) berkata pada temannya, “Inilah salah satu sekolah yang akan mengajarkan pada anak-anak miskin itu akan pentingnya ahklak dan budi pekerti, sehingga kesuksesan tak melulu dari materi, tapi menggunakan pendekatan hati”
Terus gimana? Setelah dibukakan kenyataan melalui film itu, lalu apa yang akan kita lakukan? Mau tunggu negara memperbaiki taraf pendidikan di Indonesia? Mau tunggu pemerintah meningkatan kesejahteraan guru sehingga mereka bisa lebih berdedikasi dalam mengajar generasi muda?
MIMPI SAJA!
Sebelum mengharap yang terlalu berlebihan, mungkin lebih baik tunggu dulu para wakil rakyat itu tak hanya tidur saat rapat di DPR.. atau tunggu dulu para penyalur bantuan dana itu berhenti korupsi memangkas sumbangan pendidikan untuk kepentingannya sendiri.
Setiap manusia bertanggungjawab atas kehidupannya masing-masing. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tinggi kemampuannya untuk survive, semakin banyak pilihannya untuk berkelit di masa sulit. Lebih baik memberi kail daripada memberi ikannya. Pendidikan akan lebih bermanfaat bagi seorang anak untuk kelak bertanggungjawab atas kehidupannya.
Terus, kenapa aku tak jadi guru saja?
Ada salah satu adegan dalam Laskar Pelangi dimana teman-teman dan Bu Guru Muslimah itu tak berdaya melepas kepergian Lintang yang terpaksa harus mengakhiri sekolahnya. Ikal hanya bisa berlari dan menangis. Semua hanya bisa bersedih.. Hal ini menggambarkan ketidakberdayaan orang-orang miskin dan ketidakberdayaan Bu Guru itu mempertahankan murid jeniusnya itu. Kenapa? Karena untuk membiayai hidupnya sendiri saja mereka kewalahan, bagaimana bisa membantu seorang Lintang dan adik-adiknya?
Aku memilih tak jadi guru karena memang aku melihat potret guru-guruku dulu yang berpayah-payah mengajar dengan mengandalkan gaji yang tak seberapa. Mereka harus cukup puas hanya dengan titel “pahlawan tanpa tanda jasa”. Sungguh mereka itu pahlawan. Sampai dengan detik ini, aku bahkan belum habis mensyukuri jasa mereka yang telah membentuk pendidikanku.
Aku memilih tak jadi guru, karena aku harus sukses dan pencitraan guru semasa ku kecil, jauh dari kesan itu. Lagipula, tak bisa semua orang bisa jadi guru. Dibutuhkan bakat dan kesabaran untuk menghadapi anak-anak yang beragam sifat dan kemampuannya. Dan guru-guru haruslah orang-orang berkualitas untuk mendidik anak-anak yang sukses. Bu Mus adalah contoh seorang wanita sabar yang berdedikasi tinggi mensukseskan muridnya, jeli melihat potensi masing-masing anak dan mengembangkannya dengan tepat. Apakah aku bisa menjadi guru yang seperti itu?
Mau mengubah dunia tak kan bisa begitu instan. Mungkin akan lebih baik bila dimulai dari masing-masing individu. Sekarang pun aku hanya manusia biasa di awal karirnya yang sedang berusaha untuk rajin bekerja. Cita-citaku kini tak lagi sesimple dulu, ingin atau tidak ingin jadi guru. Cita-citaku kini ingin sukses setinggi-tingginya untuk kemudian bisa menyisihkan sebagian kekayaanku untuk membantu anak-anak pintar macam Lintang agar bisa terus sekolah secara berkelanjutan. Boleh jadi bila rejekiku memang ada, ingin rasanya membentuk sekolah dan meng'hire guru –guru yang berkualitas dengan gaji yang sangat pantas agar mereka bisa mendidik anak-anak pintar miskin itu dengan lebih bersemangat.
But that’s still beyond my capabillity. In my previous conversation with my bf, we even have ever talked about our retirement planning. Kita mau tinggal di rumah lalu bikin semacam les untuk anak-anak supaya mereka terbantu belajarnya di sekolah.. Atau bikin berbagai kursus keterampilan supaya anak-anak miskin itu punya bekal dalam melanjutkan penghidupannya kelak. Setiap manusia memang bertanggungjawab atas kehidupannya masing-masing, tapi membentuk manusia bertanggungjawab itu seharusnya dimulai sejak kecil.
Tulisan ini hanya sekelibat ‘awakening mind’ dari film yang sangat terbatas durasinya. Mungkin akan timbul awakening2 lanjutan setelah aku baca novelnya nanti, atau setidaknya harapan ‘awakening mind’ untuk khalayak luas yang menonton film tersebut, agar tak hanya duduk termangu dan sedih, tapi berbuat sesuatu!
Sesuatu yang seiklhasnya, sesuai dengan kemampuan diri sendiri tapi cukup berharga menyelamatkan seorang lintang atau beberapa lintang yang lain.
===========
Footnote:
*) Film Denias, cek the site on: http://www.deniasmovie.com/news07.html
Regulating the (yet) Unregulable?
1 year ago
1 comment:
kalo gw kebalik, dari dulu udah baca bukunya tapi blom liat filemnya.. heheh...
tp gw rasa you should see the book.. karena bahasa visual dalam film berbeda rasanya dengan bahasa literatur dalam novel (bukan lebih bagus atau lebih jelek, cuma ya ada kekhasan masing2 yg layak dinikmati), disamping itu dengan baca novelnya mungkin bakal muncul new awakenings within your mind =)
dan terlepas dari kritik2 terhadap karya andrea hirata mengenai keakuratannya dengan fakta hidup dia yg sebenarnya, bagi gw yg penting adalah MESSAGE yg dia sampaikan itu ngena bgt!
Post a Comment